Daán yahya/Republika

Keutamaan Negeri Yaman

Dalam berbagai hadis, Rasulullah SAW memuji penduduk Negeri Yaman.

Oleh: Hasanul Rizqa

Selama lebih dari tujuh ribu tahun, Yaman menjadi sebuah titik temu berbagai kebudayaan dunia. Kawasan yang terletak di Jazirah Arab bagian selatan itu telah menumbuhkan pelbagai peradaban masyhur. Sebagai contoh, Kerajaan Saba yang dipimpin Ratu Bilqis—sosok yang pada akhirnya masuk Islam berkat dakwah Nabi Sulaiman AS—berlokasi di sana.

 

Secara etimologis, nama Yamnat (Yaman) disebutkan dalam inskripsi Kerajaan Himyar yang berasal dari abad kedua Masehi. Berdasarkan keterangan di sana, Yamnat merujuk pada wilayah pantai yang membentang antara Aden dan Hadhramaut. Sebelum era modern, istilah Yaman digunakan untuk menyebut kawasan luas di Arab selatan, yang kini mencakup Provinsi ‘Asir, Kerajaan Arab Saudi, hingga negara Oman.

 

KH Moenawar Chalil dalam Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW (2001) menjelaskan, sejarah orang-orang Arab dapat ditelusuri hingga zaman Nabi Nuh AS. Salah seorang rasul Ulul Azmi itu memiliki tiga putra, yaitu Sam, Yafits, dan Ham. Masing-masing menurunkan bangsa-bangsa yang tersebar ke berbagai penjuru dunia dengan warna kulit khas. Bangsa Arab, lanjut Chalil, termasuk golongan bangsa Semit, yakni berasal dari keturunan Sam—yang darinya nama Semit diambil.

 

Sam bin Nuh mempunyai putra bernama Iram. Dari Iram, lahirlah banyak keturunan yang bermuara pada sembilan bangsa. Mereka adalah Ad (kaum Nabi Hud AS), Tsamud (kaum Nabi Shalih AS), Amim, Amil, Thasam, Jadis, Imliq, Jurhum Ula, dan Wabaar. Menurut Chalil, generasi yang muncul setelah era sembilan suku para anak Iram bin Sam disebut sebagai kaum Arab al-Muta’aribah.

 

Generasi Arab al-Muta’aribah adalah keturunan Nabi Hud AS melalui Qahthan bin Hud AS. Seorang putra Qahthan, yakni Ya’rub, menjadi penguasa Yaman. Ya’rub kemudian memiliki seorang cicit yang bernama Abdu Syamsin. Gelarnya adalah Saba karena ia telah memenangkan banyak pertempuran. Keturunan Abdu Syamsin lantas mendirikan sebuah kerajaan besar di Yaman dengan mengambil nama dari gelar datuk mereka tersebut.

 

Berbeda dengan kondisi geografis mayoritas Jazirah Arab, Arab selatan atau Yaman cenderung subur. Karena itu, misalnya, orang-orang Romawi pada masanya menyebut Yaman sebagai Arabia Felix atau ‘Arab beruntung’, sedangkan Jazirah Arab sisanya sebagai Arabia Deserta, ‘Arab gurun.’

 

Pada zaman Kerajaan Saba, Ma’rib merupakan kota terbesar di seluruh Yaman. Itu terkenal akan bendungannya yang canggih pada masanya dan juga menjadi sendi perekonomian negara. Alquran turut mengisahkan kemakmuran yang dialami Negeri Saba. Artinya, “Sungguh, bagi kaum Saba ada tanda (kebesaran Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri, (kepada mereka dikatakan), ‘Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik (nyaman) sedang (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun’” (QS Saba: 15).

 

Ayat itu menggambarkan keadaan Bendungan Ma’rib. Pada sisi baratnya, terdapat area luas yang menjadi tempat tumbuhnya banyak pepohonan penghasil berbagai buah-buahan. Sementara itu, pada sisi timur dam itu terbentang kebun yang memproduksi aneka macam sayur-mayur. Semua keberkahan itu merupakan karunia Allah SWT untuk Kerajaan Saba di Yaman.

 

Namun, mayoritas penduduk Saba kemudian lalai dan terbuai dengan kekayaan. Bahkan, sebagian besar dari mereka meninggalkan agama tauhid. Allah SWT lalu menjatuhkan azab-Nya. Bendungan Ma’rib mengalami kerusakan parah dan jebol. Banjir besar seketika melanda Ma’rib, termasuk lahan-lahan pertanian yang selama ini dibangga-banggakan Kerajaan Saba. Kalangan sejarawan menyebut malapetaka ini sebagai Banjir Arim.

SISA-SISA BENDUNGAN MARIB DI YAMAN | DOK wikipedia

Sebagian penduduk Arab al-Muta’aribah yang selamat dari Banjir Arim lalu hijrah ke arah utara. Dari Yaman, ada yang sampai ke Syam atau Irak—daerah yang disebut sebagai kawasan “Bulan Sabit Subur” (Fertile Crescent). Ada pula yang “berbelok” ke kawasan Bakkah sebelum sampai ke tujuan awal mereka, yakni Fertile Crescent.

 

Di tengah perjalanan, para pengungsi asal Ma’rib, Yaman, ini terkejut karena melihat sekawanan burung terbang berputar-putar di atas langit Bakkah. Padahal, sepengetahuan mereka, area Bakkah hanyalah padang gurun nan tandus belaka. Banyak burung yang menghampiri Bakkah saat itu mengindikasikan adanya mata air.

 

Maka berangkatlah beberapa orang dari rombongan ini ke titik yang dikerumuni burung-burung itu. Mereka melihat di dekat sumber air yang memancar, terdapat seorang ibu sedang menggendong bayinya. Dengan sopan dan penuh takzim, orang-orang yang diutus kelompok pengungsi Yaman ini meminta izin kepada sang wanita untuk mengambil air tersebut.

 

Perempuan tersebut membolehkan mereka, asalkan mereka menganggap oasis tersebut sebagai miliknya. Para utusan itu tidak keberatan dengan persyaratan demikian. Maka kembalilah orang-orang ini kepada kelompoknya untuk mengabarkan adanya oasis di Bakkah dan dibolehkannya mereka untuk minum dan mengambil manfaat dari mata air tersebut.

 

Inilah babak baru dari sejarah Bakkah, kota yang kini dikenal sebagai Makkah al-Mukarramah. Perempuan yang dimaksud adalah Siti Hajar, seorang istri Nabi Ibrahim AS. Adapun bayi yang digendongnya ialah Ismail AS. Siti Hajar merupakan orang Mesir, sedangkan suaminya itu berasal dari Mesopotamia (Irak).

 

Kisah Nabi Ibrahim dan Siti Hajar diabadikan dalam Alquran. Atas perintah Allah, sang Khalilullah Ibrahim AS meninggalkan istri dan anaknya di Bakkah, “lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat Baitullah” (QS Ibrahim: 37). Dengan penuh kesabaran, keduanya menjalani ujian yang luar biasa itu.

 

Sampailah ketika Ismail menangis keras karena kehausan. Didorong naluri sebagai seorang ibu, Siti Hajar bangkit dan berlari mencari-cari air untuk anaknya yang masih dalam buaian itu. Bahkan, dua bukit di sekitarnya didakinya berkali-kali. Kemudian, Allah menurunkan karunia-Nya. Di dekat kaki sang bayi, tiba-tiba memancarlah air yang bening dan dingin.

 

Melihat kemunculan mata air itu, Siti Hajar terkejut dan sekaligus bahagia. Ia lalu spontan mengucapkan, “zam, zam”, yang dalam bahasa Mesir berarti ‘berhenti, berhenti’, agar pancaran air itu tidak menggenangi tanah tempat bayinya berada. Zamzam kemudian menjadi nama oasis tersebut.

 

Siti Hajar menerima kedatangan para pengungsi dari Yaman itu dengan suka cita. Dengan adanya mereka, ia dan bayinya tidak lagi kesepian. Orang-orang yang selamat dari Banjir Arim itu pun bersyukur karena telah berjumpa dengan istri Nabi Ibrahim AS itu serta diizinkan untuk mengambil air dari oasis Zamzam. Mereka lalu mendirikan masyarakat baru di Bakkah dan mengangkat Siti Hajar sebagai tokoh kehormatan.

 

Ketika tumbuh dewasa, Ismail AS menikah dengan gadis dari Arab al-Muta’aribah Yaman itu. Bersama dengan Nabi Ibrahim AS, putra Siti Hajar tersebut menegakkan Ka’bah, memulai ritual haji, dan mengajarkan tauhid. Ismail memiliki anak cucu yang beberapa generasi kemudian menurunkan Suku Quraisy. Kabilah inilah yang pada akhirnya memunculkan sang khatamul anbiya, Nabi Muhammad SAW.

dok Wikipedia

Dipandang istimewa

 

Nabi SAW memuji keadaan penduduk Yaman. Dalam sebuah hadis, beliau memandang orang-orang Arab selatan itu sebagai masyarakat yang lemah lembut. “Jubair bin Muth’im menuturkan, suatu ketika kami (para sahabat) bersama Rasulullah SAW dalam sebuah perjalanan antara Makkah dan Madinah. Saat itu beliau bersabda, ‘Hampir-hampir bangsa Yaman melebihi kalian. Mereka bagaikan segumpal awan. Mereka adalah sebaik-baik penduduk bumi’” (HR Imam Ahmad, Imam Bukhari, dan Imam al-Baihaqi).

 

Keistimewaan Yaman juga disebutkan dalam hadis lain. Abu Hurairah meriwayatkan, beberapa saat sesudah surah an-Nasr turun, Rasulullah SAW bersabda. “Penduduk negeri Yaman telah datang kepada kalian. Mereka adalah orang-orang yang paling lembut hatinya. Iman itu ada pada Yaman. Fiqih (memahami agama) ada pada Yaman. Hikmah ada pada Yaman” (HR Imam Ahmad). Pernyataan Nabi SAW itu bermakna bahwa dari kalangan bangsa Yaman, muncul banyak orang yang teguh iman dan Islamnya. Banyak pula para ulama dan ahli hikmah yang lahir dari negeri tersebut.

 

Rasulullah SAW menyebut keunggulan lainnya dari bangsa Yaman. Menurut beliau, penduduk Yaman adalah yang memelopori tradisi berjabat tangan ketika bertemu dengan orang lain. “Sesungguhnya telah datang kepada kalian penduduk Yaman. Merekalah pelopor pertama dalam hal berjabat tangan,” sabda Nabi SAW.

 

Beliau sangat senang ketika sejumlah orang dari Yaman datang ke Madinah. Setelah menyatakan iman dan Islam, mereka meminta kepada Nabi SAW agar berkenan mengirimkan seseorang ke negerinya untuk mengajarkan agama. Permintaan itu mengisyaratkan, betapa besar semangat masyarakat Yaman untuk menuntut ilmu. Rasulullah SAW lalu mengutus Abu Ubaidah bin Jarrah kepada mereka.

 

Seakan-akan tak habis pujian Nabi SAW untuk bangsa Yaman. Pernah suatu ketika, Abu Sa’id al-Khudri mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya, akan datang suatu kaum yang kalian akan merasa sungkan jika membandingkan amalan kalian dengan amalan mereka.”

 

Penasaran dengan siapa kaum yang dimaksud, seorang sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apakah mereka berasal dari kaum Quraisy?”

 

“Bukan. Mereka adalah penduduk Yaman,” jawab Rasulullah SAW.

Ya Allah, berkahilah kami pada negeri Syam kami. Ya Allah, berkahilah kami pada negeri Yaman kami.

Jarak ratusan kilometer memisahkan antara Madinah dan Yaman. Walaupun begitu jauh di mata, Yaman dekat dengan hati Nabi Muhammad SAW. Beliau pernah mendoakan keberkahan untuk penduduk setempat. “Ya Allah, berkahilah kami pada negeri Syam kami. Ya Allah, berkahilah kami pada negeri Yaman kami.”

 

Kerinduan Nabi SAW dengan Muslimin Yaman—dan tentu begitupun sebaliknya—tergambar jelas dalam hadis berikut. Rasulullah SAW menjanjikan bahwa penduduk Yaman yang Mukmin adalah yang paling pertama merasakan segarnya air telaga beliau di akhirat kelak. Beliau bersabda, “Sesungguhnya kelak aku akan berada di samping telagaku. Kemudian, aku akan menghalangi orang-orang yang akan meminum dari telagaku agar penduduk Yaman dapat meminumnya terlebih dahulu. Aku memukul dengan tongkatku sehingga air telaga itu mengalir untuk mereka” (HR Muslim).

 

Beliau juga menyampaikan nubuat berkaitan dengan keadaan orang-orang Yaman pada situasi akhir zaman. Nabi SAW menerangkan bahwa kelak kaum Muslimin akan terlibat dalam peperangan besar. Sekelompok pasukan akan berkedudukan di Syam. Sebagian juga di Irak, sedangkan lainnya di Yaman.

 

Rasulullah SAW berwasiat, “Hendaklah (ketika peperangan itu terjadi) kalian memilih Syam karena ia adalah negeri pilihan Allah. Allah kumpulkan di sana hamba-hamba pilihan-Nya. Jika tidak bisa,  hendaklah kalian memilih Yaman dan berilah minum (hewan tunggangan kalian) dari kolam-kolam (di lembahnya). Sebab, Allah menjamin untukku negeri Syam serta penduduknya” (HR Abu Dawud, Imam Ahmad, Al-Hakim, dan Ibnu Hibban).

 

Salah seorang salihin dari Yaman pada masa Nabi Muhammad SAW ialah Uwais al-Qarni. Para sejarawan menggolongkannya sebagai generasi tabiin, alih-alih sahabat, walaupun ia hidup sezaman dengan Rasulullah SAW. Sebab, sosok yang amat berbakti kepada ibunya itu tidak pernah berjumpa langsung dengan beliau.

 

Kendati begitu, pujian tentangnya pernah diucapkan langsung oleh Nabi SAW. Menurut beliau, Uwais al-Qarni adalah “penduduk langit”. Dalam arti, namanya kerap disebut-sebut oleh malaikat penghuni langit dengan nada kekaguman.

 

Rasul SAW mengingatkan para sahabatnya, "Suatu ketika, jika kalian bertemu dengan dia (Uwais al-Qarni), mintalah dia agar berdoa dan beristighfar (meminta kepadanya agar memohon ampunan Allah bagi kalian). Dia adalah penghuni langit, bukan (sekadar) orang bumi."

Hadhramaut |  DOK wikipedia

Negeri para habib

 

Daerah yang masyhur sebagai pusat keislaman di Yaman adalah Hadramaut atau Hadhramaut. Seperti dijelaskan John Middleton dalam World Monarchies and Dynasties, nama lengkap wilayah tersebut adalah Hadhara al-Maut. Secara harfiah, itu berarti ‘kematian telah hadir.’

 

Beriklim tandus, lembah sungai (wadi) Hadhramaut sering menjadi tujuan para pengembara. Mereka bukan sekadar pelancong, tetapi orang-orang bermental sufistik yang sengaja mencari kesunyian demi “mematikan” ambisi duniawi. Karena itulah, daerah Yaman yang kerap didatangi mereka dinamakan sebagai Hadhramaut.

 

Tafsir lain mengenai asal mula nama Hadhramaut dapat dibaca dalam EJ Brill’s First Encyclopaedia of Islam 1913-1936. Konon, daerah yang terkenal sebagai produsen kemenyan Arab (frankincense) itu, menurut legenda Yunani, menjadi tempat tumbuh suburnya tanaman dengan getah yang “mematikan.” Karena itulah, daerah tersebut dinamakan sebagai ‘tanah kematian’ alias Hadhr al-Maut.

 

Kemasyhuran Hadhramaut terutama disokong oleh fakta bahwa di sanalah tempat asalnya banyak ulama keturunan Rasulullah SAW. Mereka sangat dicintai (cinta: hubb) kaum Muslimin. Karena itu, gelarnya adalah habib (jamak: habaib).

 

Profil Hadhramaut sebagai “negeri habaib” bermula pada masa Bani Abbasiyah. Kekhalifahan yang berpusat di Baghdad, Irak, itu pada abad kesembilan hingga awal abad ke-10 M kerap dirundung krisis politik. Bahkan, pertikaian atau konflik terbuka yang memperhadapkan sesama Muslim pun tak jarang terjadi.

 

Ketika itu, Ahmad al-Muhajir merupakan seorang ulama keturunan Rasulullah SAW yang menetap di Basrah. Ia memiliki nama lengkap Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin Ja'far bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abu Thalib.

 

Ahmad al-Muhajir berada di Basrah tatkala Bani Abbasiyah dipimpin Muqtadir Billah. Penguasa Abbasiyah itu diangkat menjadi khalifah dalam usia muda sekali, 13 tahun. Lantas, perdana menterinya yang bernama Abbas bin Hasan bersekongkol dengan sejumlah elite istana untuk menjungkalkannya dari kursi kekuasaan.

 

Rencana itu lebih dahulu terdeteksi. Muqtadir lalu bertindak keras. Ia tidak hanya menghukum mati para pemberontak, tetapi juga memenjarakan banyak ulama yang dituduh ikut dalam rencana penggulingan kekuasaan. Alhasil, situasi Baghdad dan Irak pada umumnya menjadi tidak stabil.

 

Untuk menghindari kekacauan (fitnah) itu, Ahmad pun hijrah ke Hadhramaut bersama dengan keluarga dan para pengikutnya. Karena itulah, ia di Yaman digelari sebagai al-Muhajir, ‘orang yang berhijrah.’

dok wikipedia

Ahmad al-Muhajir memiliki empat orang putra, yakni Ali, Hussain, Muhammad, dan Ubaidillah. Sang bungsu itulah yang menyertainya berpindah dari Basrah ke Hadhramaut. Begitu mendewasa, Ubaidillah menikah dan dikaruniai tiga orang anak, yaitu Alwi, Jadid, dan Basri.

 

Dari ketiganya, hanya Alwi yang namanya lebih banyak dicatat dalam pelbagai manuskrip. Dialah sayyid—keturunan Nabi SAW dari jalur Husain bin Ali—yang pertama lahir di Yaman. Seperti bapak dan kakeknya, Alwi pun pada akhirnya memiliki banyak pengikut. Orang-orang memanggilnya sebagai Imam Alwi. Semua keturunannya kelak disebut sebagai Ba'alawi atau Alawiyyin.

 

Di antara penduduk Hadhramaut, banyak yang berprofesi sebagai pedagang lintas negeri. Mereka biasa berlayar mengarungi Samudra Hindia untuk tiba dan berniaga di pelbagai bandar internasional, termasuk India, Sumatra, dan Jawa. Bersama dengan mereka, ikutlah para pengikut habaib Alawiyyin. Malahan, sering kali beberapa habib turut di dalam kapal-kapal dan turun di negeri-negeri yang disinggahi.

 

Para cendekiawan, semisal Prof Buya Hamka dan Syed Hussein Naquib al-Attas, menegaskan adanya peran penting kaum habaib Hadhramaut atau Hadhrami dalam memperkenalkan Islam di Nusantara. Dengan perkataan lain, syiar agama tauhid mula-mula sampai ke Indonesia langsung dari Jazirah Arab, bukan daerah-daerah perantara yang terletak di luar Arab, semisal Gujarat atau Bengal.

 

Jejak kaum Hadhrami di Nusantara tampak, antara lain, dari genealogi Wali Songo. Mereka adalah orang dai yang memelopori syiar Islam di Tanah Jawa. Akademisi Universitas John Hopkins, Syed Farid Alatas, menulis di dalam artikelnya, “Hadhramaut and the Hadhrami Diaspora: Problems in Theoretical History.” Menurut dia, nenek moyang kesembilan ulama tersebut adalah seorang habib yang bernama Jamaluddin Akbar al-Husain.

 

Kakeknya, Abdullah bin Abdul Malik, hijrah dari Hadhramaut ke India. Masyarakat dan penguasa negeri setempat kemudian menerimanya dengan amat baik. Gelarnya adalah Adzamat Khan, yang dalam bahasa Urdu berarti ‘keturunan yang mulia.’

 

Abdullah memiliki seorang putra, yakni Ahmad Shah Jalal, yang pada akhirnya menjadi ayah Jamaluddin Akbar. Sejak awal abad ke-14 M, keluarga habaib ini menetap di Malabar, pantai barat India. Begitu tumbuh mendewasa, Jamaluddin merantau ke Gujarat dan Campa—kawasan Indocina sekarang. Di antara anak-anaknya adalah dua bersaudara, Zainal Alam Barakat dan Nurul Alam.

 

Zainal Alam menurunkan Maulana Malik Ibrahim, yang ketika dewasa berhijrah ke Gresik, Jawa Timur, untuk menyebar syiar Islam. Di kemudian hari, sang pendakwah lebih dikenal sebagai Sunan Gresik, Wali Sanga pertama. Sementara itu, Nurul Alam berpindah ke Mesir dan memperoleh seorang putra yang bernama Syarif Abdullah Umdatuddin. Salah satu anaknya bernama Syarif Hidayatullah, yang belakangan ikut mendakwahkan Islam ke Jawa Barat. Namanya kemudian masyhur sebagai Sunan Gunung Jati.

top